Rabu, 09 Januari 2008

Menafsirkan "Ayat Poligami"

Isu poligami menjadi pembicaraan panas di tengah masyarakat seiring dengan banyaknya tokoh yang berpoligami. Mulai dari praktek poligami yang dilakukan oleh dai kondang, Aa Gim, Hamzah Has Mantan Wapres RI, Zaenal Maarif, dan masih banyak lagi. Di level masyarakat poligami juga banyak dilakukan. Dalam kaitan itu, persepsi publik terbelah antara yang setuju dan tidak setuju. Semua mendasarkan pada penafsiran terhadap teks dalam Al-Qur'an sebagai basis pendapatnya.

Lebih lanjut, poligami jika dikaji lebih jauh merupakan praktek yang sudah berakar di masyarakat di berbagai belahan di dunia. Jauh sebelum Islam datang, praktek poligami sudah ada. Ketika Islam datang, praktek tersebut juga sudah ada dan mengakar kuat di masyarakat Arab ketika itu. Datangnya Islam memang tidak serta merta dapat menghapus poligami secara total dalam praktek masyarakatnya. Bahkan sebaliknya, praktek poligami seakan mendapat legalisasinya dalam ayat.

Keberadaan ayat poligami itulah yang saat ini menjadi sandaran kelompok yang mendukung praktek poligami, atau dasar bagi mereka yang ingin berpoligami. Namun ada kekeliruan mendasar yang dilakukan oleh pendukung poligami dalam melihat ayat ini, yakni bagaimana menafsirkan ayat tersebut secara tepat dan kontekstual.

Bahwa untuk menafsirkan sebuah ayat tidak bisa hanya diihat dari sisi hukumnya saja, apakah halal, mubah atau haram. Ada aspek lain yang mestinya juga dilihat yakni sebab kenapa ayat itu turun (asbabun nuzul). Ha ini menjadi keharusan supaya penafsiran ayat tersebut tidak keluar dari konteksnya.

Perempuan di masa ketika ayat ini diturunkan berada dalam posisi yang sama sekali tidak dihormati dan tidak dihargai di tengah masyarakat. Anak perempuan yang baru lahir dianggap sebagai aib dan langsung dibunuh. Sementara itu, laki-laki juga boleh menikahi perempuan sebanyak apapun (tanpa batas), dan memperlakukan mereka sebagai barang dagangan. Posisi perempuan sangat lemah ketika itu.

Ayat poligami turun dalam situasi dimana praktek poligami berlangsung dengan sekala yang sangat eksesif di masyarakat. Secara prinsip, jika dikaji secara dalam ayat ini sebenarnya diturunkan dengan maksud untuk merubah praktek poligami tersebut. Pertanyaannya, bukankah jumlah empat dalam ayat sama saja dengan masih melegalkan poligami? Kenapa tidak sekalian saja menolaknya?

Bahwa untuk merubah sebuah masyarakat tidak bisa dilakukan secara langsung. Butuh sebuah proses yang berlangung secara pelan-pelan. Hal itu juga berlaku guna memupus praktek poligami yang sudah ada jauh sebelum Islam datang. Jumlah empat dalam ayat adalah batas maksimal yang bisa ditolerir dari yang sebelumnya boleh berapa saja, dan itupun disertakan dengan syarat dapat berlaku adil (jika mampu). Pertanyaannya, adakah manusia yang bisa memastikan dirinya bisa berbuat adil? Hanya Tuhan yang Maha Adil.

Dari sini, jika melihat konteks turunnya ayat tersebut sesungguhnya memiliki spirit bagaimana mendorong adanya penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan, yakni berupa penghapusan poligami. Melihat ayat ini hanya dari segi hukum semata akan menyebabkan kehilangan konteksnya. Spirit penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan inilah yang harus dibawa dalam menafsirkan ayat ini di masa sekarang.

Bahwa spirit penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan sekarang ini berbasiskan pada HAM dan hak-hak perempuan. Di mana hubungan laki-laki dan perempuan mengharuskan adanya kesetaraan kedudukan, hubungan yang bersifat patriarki harus dihapuskan, laki-laki tidak bisa lagi mensubordinasi perempuan, dan lain-lain. Dalam kacamata inilah seharusnya ayat poligami dimaknai.

Jika dicermati, kendati ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang "boleh saja" berpoligami dengan syarat mampu dan bisa bersikap adil, namun adanya syarat tersebut justru mencerminkan bahwa ayat tersebut nampak lebih memiliki makna "tidak boleh". Sebab tidak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa dirinya itu mampu dan bisa bersikap adil.

Lebih dari itu, jika kita mendasarkan pada satu qo'idah usul fiqh bahwa hukum itu bisa berputar; ia bisa jadi haram, halal atau mubah, sesuai dengan konteks alasan yang menyertainya. HAM adalah konteks alasan hukum yang dapat dijadikan dasar menafsirkan ayat ini. Sehingga dalam hal ini, poligami bisa saja haram jika praktek tersebut justru menyebabkan kerugian dan kerusakan.

Pluralisme dalam Implementasi HAM

Kesadaran akan pentingnya pluralisme di kalangan pemerintah dan masyarakat nampaknya masih menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Bahkan, melihat sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, pluralisme secara terus-menerus dilanggar dan dicederai. Bila keadaan ini terus berlajut, maka bisa dipastikan tidak akan ada lagi ruang yang memungkinkan bagi hidupnya perbedaan, keberagaman, dan kebebasan di Indonesia.

Penilaian ini bukanlah upaya dramatisasi. Sebab, fakta menunjukkan upaya pengingkaran terhadap pluralitas bekerja dengan sistematis di semua ruang kehidupan. Di ranah Negara, muncul berbagai kebijakan yang menentang pluralisme mulai dari pusat sampai daerah. Di ranah masyarakat, muncul kelompok yang kerap melakukan pemaksaan kehendak melalui represi dan operasi atasnama kebenaran dan keyakinan yang dianutnya. Situasi ini menciptakan ketakutan bagi setiap orang untuk merayakan keberagaman dan mengeskpresikan perbedaannya.

Kendati sekarang ini muncul berbagai pihak yang terus mempromosikan pluralisme sebagai prinsip penting dalam berbangsa dan bernegara, namun hal itu ternyata belum cukup untuk menghilangkan berbagai pengingkaran terhadap pluralitas bangsa. Beberapa prinsip penting dalam pluralisme seperti kebebasan dasar (fundamental freedom) misalnya, terus-menerus dilanggar dan dibelenggu. Ruang yang memungkinkan hidupnya perbedaan juga dikekang, serta pengingkaran atas keberagaman sosial berlangsung di mana-mana.

Di lapangan, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan intensitasnya justru semakin meningkat, diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas semakin marak, klaim atas kebenaran dan keyakinan yang disertai pemaksaan kehendak melalui kekerasan dan ancaman terhadap kelompok lain semakin biasa terjadi di masyarakat, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.

Fakta berbagai kasus itu menunjukkan bahwa pluralisme nampaknya menghadapi berbagai ancaman yang datang dari dua ranah. Pada satu sisi, pluralisme menghadapi ancaman dari ranah negara melalui kebijakan, sementara pada sisi lain, pluralisme juga menghadapi ancaman dari ranah masyarakat. Kelompok-kelompok anti-pluralisme melalui kedua ranah tersebut mengancam pluralisme dengan cara-cara yang sistematik.

Masalah menjadi serius ketika negara terlibat, baik secara tidak langsung melalui pembiaran atas kasus yang terjadi, atau langsung melalui kebijakan dan tindakan aparatnya. Aspek pembiaran misalnya terlihat ketika aparat negara tidak menindak kelompok yang melakukan pencedaraan terhadap pluralisme, seperti kasus penuntupan tempat ibadah di berbagai tempat. Sementara keterlibatan langsung terlihat dalam berbagai kebijakan yang dibuat mulai dari pusat sampai daerah yang mengancam hak-hak dasar individu yang terkait dengan pluralisme.

Potret pembuatan dan implementasi kebijakan negara dan adanya sikap aparat negara seperti itu tentu saja merupakan sebuah ironi. Di tengah gencarnya perbaikan pelaksanaan HAM dan kehidupan berdemokrasi, negara justru mengeluarkan kebijakan dan bersikap bertolakbelakang dengan HAM dan demokrasi itu sendiri. Hak-hak dasar individu yang semestinya dijamin dan dilindungi oleh negara malah terus menjadi sasaran pelanggaran dan ancaman.


Beberapa Faktor Penyebab

Setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong buramnya pluralisme di Indonesia. Pertama, belum adanya penerimaan secara menyeluruh terhadap norma-norma HAM, baik itu di kalangan aktor-aktor negara maupun masyarakat. Adanya penerimaan HAM yang cenderung setengah hati itu menyebabkan munculnya sikap dan tindakan anti-HAM di kalangan aktor negara dan masyarakat. Terlebih lagi, ide totaliteristik sebagai warisan rezim Orde Baru hingga masih juga berakar kuat kendati rezim tersebut telah runtuh. Ia kini menyelinap dalam berbagai ruang kehidupan.


Kedua, adanya pengaruh penafsiran teks-teks keagamaan (tekstual) yang disertai dengan adanya klaim-klaim kebenaran atas pemikiran atau keyakinan yang dianut oleh kelompoknya. Bisa dikatakan, adanya klaim-klaim kebenaran itu sebagai gejala awal merebaknya sikap intoleran di masyarakat. Sebab, klaim-klaim tersebut tidak jarang dipaksakan kelompok tertentu sebagai kebenaran bagi kelompok lainnya, sehingga akhirnya melahirkan ketegangan hubungan antar berbagai kelompok.

Ketiga, adanya kekeliruan dalam memahami dan memaknai pluralisme sehingga menumbuhkan persepsi negatif terhadap pluralisme. Salah satunya tercermin dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Fatwa ini tentu saja memiliki dampak. Diakui atau tidak, fatwa tersebut semakin meningkatkan sikap intoleran di masyarakat dan mendorong berbagai kelompok melakukan penceradaan terhadap pluralisme.

Pluralisme dan Hak Asasi Manusia


Jelas, pluralisme tidak bisa dipisahkan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Keduanya memiliki hubungan sangat erat dan saling terkait antar satu dengan lainnya. Di dalam pluralisme terkandung beragam jenis hak-hak dasar individu. Karena itu, pengandaian berjalannya pluralisme tentumua mengandaikan pula adanya penghormatan, jaminan dan perlindungan HAM yang memungkinkan bagi setiap individu untuk menikmati hak-hak dasarnya.

Pada ranah keagamaan misalnya, pluralisme tidak mungkin berjalan tanpa jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu hak dasar individu. Hal yang sama berlaku di ranah sosiologis, di mana pluralisme tidak ada apabila hak-hak dasar individu seperti hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, hak kelompok-kelompok minoritas dan hak-hak dasar lainnya tidak dijamin dan tidak dilindungi keberadaannya.

Karena itu, HAM merupakan aspek yang sangat penting dalam pluralisme. Dalam konteks bernegara, hukum HAM mengatur relasi antara negara dan warganya, bagaimana negara memperlakukan warganya, menjamin dan melindungi hak-hak dasar warganya. Dalam konteks bermasyarakat, kesadaran dan penerimaan akan norma-norma HAM dapat menjadi faktor penting bagaimana mereka berhubungan antar sesamanya.

Dalam kerangka ini, menegaskan kembali kewajiban negara yang ditetapkan oleh hukum HAM menjadi penting, terutama dalam kaitan pemajuan pluralisme di Indonesia. Hukum HAM secara jelas menegaskan tiga kewajiban negara, yakni menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Namun, apa relevansi antara kewajiban itu dengan pemajuan pluralisme? Sejauh negara menjalankan kewajiban pemenuhan HAM, maka upaya tersebut dapat menjadi babak awal dalam mendorong kemajuan pluralisme.

Apa yang harus dilakukan negara?

Ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh negara dalam implementasi kewajiban dalam kaitan hak asasi manusia warganya. Prinsip-prinsip tersebut mengatur batasan-batasan negara sampai sejauhmana ia menjalankan tiga kewajibannya itu. Ketaatan negara terhadap prinsip-prinsip tersebut menjadi penting untuk memastikan terjamin dan terpenuhinya semua hak-hak dasar individu tanpa terkecuali.

Secara prinsip, HAM terbagi dalam dua rumpun, yakni hak-hak positif (positive rights) dan hak-hak negatif (negative rights). Pengertian positif dan negatif di sini bukan menggambarkan bahwa nilai-nilai "baik" dan "buruk", melainkan menunjuk pada ukuran keterlibatan negara bagi pemenuhan hak tersebut. Yang dimaksud hak-hak positif adalah hak-hak ekonomi sosial dan budaya, yang akan terenuhi bilamana negara berperan aktif memajukan hak-hak tersebut. Sementara sebaliknya, hak-hak negatif adalah hak-hak sipil dan politik yang akan terpenuhi bilamana negara mengurangi campur tangannya. Lebih jauh, hak-hak ekonomi sosial dan budaya menyangkut pemenuhan materi, sementara hak-hak sipil dan politik menyangkut pemenuhan kebebasan.

Pembagian rumpun hak-hak dasar itu harus dijadikan pegangan dan harus ditaati oleh negara dalam implementasi HAM. Tanpa adanya ketaatan terhadap pemilahan kedua rumpun itu, maka hal itu justru akan memunculkan potensi untuk tercerabut dan terlanggarnya hak-hak sipil dan politik karena adanya campur tangan negara yang eksesif, sebagaimana yang selama ini terjadi.

Dalam konteks pemajuan pluralisme, penegasan ukuran keterlibatan negara ini menjadi penting. Sebab, hampir semua hak-hak dasar individu yang terkait pluralisme, baik dalam bidang keagamaan atau sosiologis, merupakan bagian dari hak-hak sipil dan politik (negative rights). Misalnya, hak atas kebebasan pribadi, hak atas kewarganegaraan, hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan memeluk agama dan keyakinan, hak atas kebebasan berkespresi, hak kelompok minoritas, hak untuk bebas dari segala bentuk tindakan diskriminasi.

Sehingga menjadi jelas, bahwa pluralisme akan semakin maju bilamana negara mengurangi atau meminimalkan campur tangannya untuk tidak mengurusi atau membuat berbagai aturan yang pada akhirnya campur tangan tersebut berpotensi melanggar hak-hak dasar individu di atas. Dalam kaitan itu, yang harus dilakukan negara adalah bagaimana menjamin dan memberi perlindungan secara semestinya bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak dasarnya.

Dalam konteks itu misalnya, pembuatan dan penerapan berbagai Perda bernuansa agama atau Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi, yang muatannya berpotensi membatasi, mengekang serta melanggar hak-hak dasar yang terkait pluralisme merupakan sebuah kekeliruan. Regulasi tersebut merupakan bentuk campur tangan negara yang terlalu dalam karena ia sampai mengatur ranah pribadi dimana hak-hak dasar individu itu berada.

Hal yang sama terjadi dalam kasus lainnya. Misalnya, upaya negara yang hanya mengakui beberapa agama (Islam, Katholik, Kristen, Budha, Hindu dan terakhir Konghucu), sebagai agama yang diakui secara resmi oleh negara. Lalu, bagaimana dengan aliran kepercayaan lokal yang hanya dipandang sebagai kebudayaan? Padahal aliran-aliran kepercayaan lokal tersebut sudah ada jauh sebelum agama-agama itu masuk ke Indonesia. Agama yang kini dianggap resmi adalah agama impor.

Pembatasan pengakuan negara tersebut tentu saja tidak bisa dibenarkan karena secara tidak langsung telah menegasikan keberadaan aliran-aliran kepercayaan lokal itu. Bahkan, bisa dikatakan upaya negara yang masuk ke dalam wilayah itu sebagai langkah yang berlebihan. Apapun bentuk agama atau keyakinan yang dianut oleh sesorang seharusnya dipandang sebagai hak pribadi setiap manusia. Negara tidak boleh campur tangan dengan membuat aturan-aturan yang justru membatasinya.

Bentuk lain keterlibatan yang terlalu jauh dari negara juga terlihat dengan dibentuknya Direktorat Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Pakem), yang berada di bawah Kejaksaan Agung. Pakem ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No.KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Sementara, dasar hukum terkait dengan penindakan terhadap aliran-aliran sesat didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Terakhir, dalam kerangka menjamin dan melindungi maka negara melalui aparatnya harus mencegah munculnya tindakan-tindakan yang berpotensi mengancam pluralisme, serta menindak kelompok yang kerap melakukan pelanggaran. Terlebih lagi jika mereka melakukannya dengan cara-cara kekerasan dan mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak yang dilanggar. Jelasnya, negara tidak boleh berdiam diri dan membiarkan bilamana ada kelompok yang melakukan pemaksaan kehendak, represi dan operasi terhadap kelompok lainnya.